Cerpen

RINTIK

Hujan ini masih terasa dingin dan menyakitkan menimpa kulitku. Tetes demi tetes air yang menenggelamkanku pada lautan memori kelam dalam hidupku.  Yang menjadi saksi bisu antara kisahku dengannya.  Sebuah kisah pilu yang seharusnya memang tak perlu terjadi. Karenanya, hati kami sama-sama terluka. Itu kah cinta?saling melukai satu sama lain?
***
Aku benci sekolah. Prinsip itulah yang terus tertanam dalam benakku sedari kecil. Aku tak menyukai adanya keramaian. Namun aku lebih benci bila kesepian didalam keramaian. Aku tak suka harus ada ujian. Aku benci melihat diriku tak mampu menghasilkan nilai-nilai yang cemerlang, sekalipun aku berusaha dengan sangat keras. Aku tak senang dikomentari oleh guru-guru. Ini kan diriku,jiwaku,tubuhku sendiri, kenapa semua guru selalu mengomentariku sih?.Herannya sampai detik ini, aku masih mampu lulus dan menginjak jenjang SMA walaupun dengan nilai rata-rata. Aku masih bisa bersyukur. Setidaknya aku tidak perlu dimarahi oleh orangtuaku karena nilaiku yang memalukan.
Pagi ini aku berangkat terlambat lagi. Sudah ketiga kalinya aku berangkat terlambat dalam minggu ini. Dan sudah ketiga kalinya pula kupingku merah dijewer oleh Bu Wied, walikelasku.  Dan aku tidak peduli. Bagiku aku ke sekolah hanya untuk mendapat ijazah nantinya agar bisa dapat kerja titik.
“Ildza, kerah kamu nggak rapi tuh” ujar sebuah suara dari belakang tempat dudukku. Aku menoleh ke belakang. Vanya lagi, Vanya lagi, batinku jenuh.
 “Ya” jawabku singkat tanpa melihatnya lagi. Segera kubetulkan kerahku yang terlipat tadi. Prediksiku, Vanya pasti sedang tersenyum-senyum dibelakangku sekarang.
Entah sudah berapa lama Vanya perhatian padaku. Itu terjadi karena kecerobohanku yang meminjamkan jaketku padanya pada saat hujan turun saat itu. Aku sama sekali tidak menyangka, hanya dengan ‘jaket bulukku’ dia bisa terkesan padaku, dan seolah-olah menyukaiku. Sejak saat itu, Vanya selalu perhatian padaku. Menanyakan kabarku setiap pagi, membawakan berbagai makanan saat istirahat walaupun tidak pernah aku makan, memberi contekan saat ulangan padahal aku tak pernah memintanya. Dan lama-kelamaan aku muak dengan semua itu. Kebaikan yang berlebihan itu pasti ada maksudnya. Pasti.
***
Hujan turun dengan sangat deras saat pulang sekolah. Aku mengutuk diriku sendiri kenapa aku bisa lupa membawa payung, atau setidaknya  jaket bulukku. Bukan masalah apa-apa, hanya hari ini aku membawa laptop ibu untuk presentasi tadi siang. Dan kalau aku nekat menerobos hujan, laptop ibu pasti akan rusak terguyur air hujan. Kuputuskan untuk menunggu hujan sampai reda di bangku teras sekolah.
Jam telah menunjukkan angka 5 sore. Satu per satu kawan-kawanku telah pulang, dan tinggal aku sendiri di bangku sekolah itu.  Entah sampai kapan aku akan menunggu hujan yang sepertinya tidak akan reda sampai malam ini. Setelah kupikir matang-matang, akhirnya aku mengais tempat sampah dan menemukan kantong plastic sedang  yang masih bersih. Kumasukkan laptop itu kedalam kantong plastik,dan aku bergegas menerobos hujan. Biarlah aku sakit beberapa hari, malah enak ngga sekolah, pikirku.
Baru berlari 5 meter, tiba-tiba terdengar suara berdebum dari belakangku. Sepertinya ada orang yang terjatuh, batinku. Refleks, aku berlari menolong orang yang  terjatuh itu.
“Halah”desahku sambil mengurungkan niatku membantu orang yang terjatuh itu. Kau tau mengapa?Yang terjatuh itu VANYA. Aku segera berbalik begitu melihat ternyata Vanya yang terjatuh.
 “Ildza!” teriak Vanya begitu melihatku menjauh. Aku terus melangkah tanpa mempedulikannya. Tiba-tiba.. BRUKK!!Vanya menubrukku dari belakang.
“Kamu tuh…”belum sempat aku menyelesaikkan kalimatku, Vanya memotongnya
“Ini payung buat kamu dza”. Tangannya yang putih mengulurkan sebuah payung kehijauan. Aku memandanginya. Lututnya dan sikunya lecet,mungkin karena tersandung tadi.
“Kamu aneh. Kamu lagi terluka, malah nawarin payung ke aku”ujarku.
“Enggak apa-apa. Itu tadi aku jatuh karena kecerobohanku mau ngejar kamu nyerahin payung. Ini, biar nggak kehujanan” jawabnya lembut sambil agak meringis kesakitan.  Aku menerima pemberiannya itu. Kubentangkan payung itu dan kuserahkan lagi padanya.
“Kamu lebih perlu.”Ujarku sambil melangkah pergi meninggalkannya. Vanya hanya melongo dan tertunduk sedih. Aku menoleh sebentar, “Obati lukamu. Jangan sampai infeksi”.
Entah apa ekspresi Vanya saat itu, yang penting aku bisa segera sampai rumah agar laptop ibu tidak kehujanan. Itu yang terpenting.
***
Paginya kepalaku terasa sangat pening, dan badanku demam tinggi. Aku mengutuk diriku kenapa penyakitan seperti ini. Sebenarnya ibu sudah melarangku untuk sekolah, namun entah kenapa -untuk pertama kalinya dalam hidup-, aku merasa harus berangkat sekolah.  Sampai di kelas, langsung kuletakkan kepalaku diatas meja sampai pelajaran Bu Suci dimulai.  Sialnya, hari itu Fisika ada ulangan mendadak. Memang aku sudah biasa tidak belajar sama sekali, tapi dengan kondisi amat sangat buruk seperti ini, untuk membaca soal saja rasanya aku sudah tidak sanggup. Dengan tenaga seadanya aku mengerjakan soal dengan pandangan berkunang-kunang. Seenggaknya aku ngga boleh pingsan, malu-maluin, batinku saat aku yang ditugaskan mengumpulkan lembar jawab ulangan satu kelas.
“Ildza, kamu sakit?” Tanya Vanya saat aku mengambil lembar jawabnya. “Nggak” jawabku sambil memaksa senyum. Ngapain aku senyum ke dia sih?batinku dalam hati. Tidak disangka, Vanya malah berdiri dan memegang keningku.
“Ya ampun Ildzaa badan kamu demam gini!”teriak Vanya hingga seluruh penjuru kelas melihatku, termasuk  Bu Suci.
“Ildza Dewanata, kamu sedang sakit?”Tanya Bu Suci menghampiriku,kemudian memegang keningku. Aku hanya diam menahan malu. Kenapa Vanya harus teriak-teriak sih,rutukku dalam hati.
“Nggak apa-apa bu, ini lembar jawabnya sudah terkumpul semua”ucapku sambil bergegas menuju bangkuku. “Benar kata Vanya kamu demam tinggi sekali. Mau ibu antar ke UKS?” tawar Bu Suci
“Tidak bu, terima kasih”aku terpaksa tersenyum untuk meyakinkan Bu Suci. TEEEET…TEEEET..Bunyi bel pelajaran ketiga menyelamatkanku kali ini. Bu Suci bergegas keluar kelas karena harus mengajar kelas lain. Untunglah jam ketiga ini kosong sehingga aku bisa memejamkan mata sebentar di meja.
“Ildza!!Ini aku bawakan kompres sama the hangat. Kalo kamu nggak mau ke UKS sini biar aku rawat.”ujar Vanya  membangunkanku. Aku hanya menggeleng sambil tersenyum lemah. Sedetik kemudian pandanganku menjadi kabur dan menghitam. Hal yang aku ingat terakhir kali itu, aku mendengar sebuah teriakan perempuan yang terus terngiang-ngiang di pikiranku.
***
“Ibu bilang apa, jangan masuk sekolah dulu makanya”omel ibu sambil mengompres dahiku. “Iya iya bu, maaf”jawabku sambil menutup mataku lagi.
“udah bu nggak usah dikompres lagi, aku udah SMA”tolakku saat ibu akan mengompres dahiku lagi. “Halah, jangan ngeyel lagi. Kamu tuh sampe pingsan disekolah gara-gara demammu tinggi banget Dza. Kalo kamu nggak cepet sembuh, ibu juga yang repot kan”omel ibu lagi. Aku hanya terdiam. Pingsan lagi, pingsan lagi. Cowok macem apa aku ini huh,rutukku dalam hati.
“Untung ada Mbak Vanya yang nelpon bapak sama ibu ngabari soal kondisi kamu. Dia sampai khawatir dan menyarankan kamu biar di rawat di rumah sakit lho Dza. Perhatian banget” lanjut ibu. Aku berfikir, kenapa Vanya bisa sangat perhatian padaku?Oke dia memang biasa begitu, tapi yang ini sangat berlebihan. Seketika aku merasa bersalah telah mengacuhkannya selama ini. Sepertinya aku harus berterima kasih padanya.
“Eladalah..malah ngalamun!Udah sana kamu tidur biar cepet sembuh”ujar ibu lagi. Aku hanya mengangguk pelan. “Terima kasih bu”ujarku kemudian memejamkan mata. Aku tak tahu, bahwa ternyata ibu terharu mendengarku untuk pertama kalinya mengucapkan kata terima kasih padanya.
***
Paginya aku benar-benar ngotot berangkat sekolah. “Aku sudah sembuh ibu”elakku saat ibu melarangku berangkat sekolah lagi.
“Tapi nanti kamu..”
“Enggak..Ildza janji kalo nggak enak badan langsung ke UKS deh bu. Yaudah ya bu, Ildza pamit dulu, Assalamualaikum”ujarku sambil berlari menyusuri jalan menuju sekolah. Ya memang, aku belum 100% sembuh, tapi… ada alasan lain aku berangkat sekolah pagi ini.
Pagi itu, aku merasa sangat bersemangat berangkat sekolah. Baru kali ini, aku menantikan waktu-waktu saat sekolah. Saat pelajaran berlangsung pun aku memperhatikan dengan sangat seksama. Aku bahkan sesekali bercanda dengan Vanya yang duduk dibelakang bangkuku. Entah mengapa, aku merasa berbeda karenanya.
“Vanya, terima kasih ya kemarin sudah menolongku”ujarku berusaha sedingin mungkin. Namun nada bicaraku terlanjur meleleh membuat Vanya terkejut.
“ahahaha suara kamu manis banget Dzaa. Iyaa sama-sama kok hehehe”senyum Vanya melebar. Sambil menata bandananya, ia kemudian asyik mengobrol dengan teman-temannya. Tak disangka wajahku bersemu merah. Aku kenapa nih?batinku bingung. Ada rasa yang menggelikan dalam tubuhku. Antara senang yang tak tertahankan dicampur malu yang tak bisa diungkapkan. Ku tutup wajahku rapat-rapat dengan buku paket, agar tak ada yang melihat mukaku yang memerah ini. Ada apa denganku?.
***
“Pak, jatuh cinta itu kayak gimana?”tanyaku pada Bapak yang sedang ganti baju. “Jatuh cinta itu…Berjuta rasanya ahahahaha”jawab Bapak sambil tertawa terbahak-bahak. “Pak, Ildza Tanya serius nih”ujarku sambil cemberut. Bapak melirikku dengan tatapan menyelidik. “Ehm..ehm..kayaknya anak bapak udah dewasa nih”godanya sambil mencubit pipiku. Aku hanya diam menunggu jawaban yang aku butuhkan.
“hahaha gitu saja kok marah Dza hahaha” Aku berniat pergi meninggalkan Bapak sampai Bapak menahan tanganku.
“Jatuh cinta itu tidak bisa dijelaskan Dza. Rasanya itu seperti ada banyak sekali kupu-kupu di perutmu yang membuatmu geli, senang, malu daaan yaa seperti itu lah”
Aku terperangah “Apa tandanya kalo seseorang itu sedang jatuh cinta pak?”
Bapak tersenyum “Yang pasti kamu akan merasa campur aduk ketika gadis yang kamu cintai itu mendekati kamu. Bahkan hanya dengan mendengar suaranya sebentar, atau melihatnya sekilas kamu sudah senang sekali. Cinta itu saling membangun, mendampingi, menerima dan melengkapi Dza, bukan melukai.”
Setelah mendengar perkataan Bapak, aku segera menghempaskan diri di kasur kamarku dan memandang langit-langit kamar. Apa seorang Ildza ini sedang jatuh cinta?,tanyaku pada diriku sendiri.
***
Hari-hari berlalu dengan cepat. Sedikit demi sedikit, aku mulai berubah dari pribadi yang introvert menjadi orang normal. Aku mulai menyibukkan diriku untuk belajar bergaul dengan teman-teman sekelasku, bahkan sampai perempuan sekalipun. Hal ini karena Vanya. Ya, perempuan yang aku benci karena terus-menerus menggangguku itu sekarang menjadi tujuanku untuk hidup, dan menjadi pribadi yang lebih baik. Darinya aku telah belajar banyak hal
“Kamu harus mulai gabung sama yang lain Dza. Terutama sama cowok-cowok. Punya banyak teman itu enak loh. Cobain deh, kamu gabung sama mereka. Ayo Semangaaaat”ujar Vanya sambil mengamati aku yang kaku ini berusaha berinteraksi dengan teman-teman lelakiku. Dan ternyata..
“Ternyata mereka asik-asik ya Nya”ujarku saat baru pertama kalinya bergabung dengan teman-temanku.
 “Obrolan mereka seru sekali. Mereka juga bahkan ada yang penyuka game, ada yang penyuka film, ada yang lebih senang olahraga. Aku kagum”Aku menengadahkan wajahku ke langit. Ya kebiasaan Vanya yang menular padaku adalah apabila sedang membayangkan sesuatu, kami selalu memejamkan mata dan menengadahkan wajah kelangit. Seolah-olah hal yang kami bayangkan ada didepan kami.
“Yokatta..Aku turut senang Ildza”
Ucapan Vanya bagaikan melodi indah di telingaku. Melodi yang terus menerus diputar ulang dalam memoriku. Yang memercikan berbagai rasa dalam jiwa ini. Aku ingin selalu bersamanya.
Selain itu, aku juga mulai menjadi rajin karena Vanya juga. Ia mengajariku berbagai tips agar otak lemotku ini bisa dengan mudah bekerja maksimal.
“Kamu harus selalu memperhatikan guru ketika sedang menerangkan di kelas Dza. Catat dan pelajari ulang semua materi yang kamu dapat di rumah. Kerjakan juga banyak latihan soal agar kamu lebih faham. Kalau kamu ada pertanyaan yang tidak bisa kamu jawab, kamu bisa Tanya guru atau teman-temanmu yang lain,  termasuk aku”
Nilai-nilaiku yang awalnya tidak karuan berangsur-angsur membaik. Semua guru bahkan memuji tingkah lakuku dan mulai menyayangiku. Karenamu duniaku menjadi berwarna Vanya, terima kasih.
***
Tidak terasa 3 tahun telah berlalu. Hari ini adalah hari pengumuman kelulusan SMA. Sejak tadi malam aku sudah berdebar-debar menantikan datangnya hari ini. Bukan masalah pengumumannya, tapi hari ini, aku akan menyatakan perasaanku  pada Vanya.
Ya, semenjak saat itu, aku tahu bahwa diriku ini merasakan sesuatu yang mungkin bernama ‘cinta’  pada Vanya. Cinta kami saling membangun, mendampingi, melengkapi, dan bukan melukai, seperti kata Bapak padaku dulu. Vanya, sosok yang telah berjasa mengubahku, memperbaiki pribadiku hingga menjadi aku yang saat ini. Perempuan berhati mulia yang sangat perhatian padaku walaupun aku selalu mengacuhkannya. Dialah lentera dalam suramnya kehidupanku kini. Penuntunku dijalan penuh batuan terjal. Harapanku dalam sebuah keputusasaan. Sosok sempurna bagi diriku yang serba terbatas ini.
Semuanya sudah aku rencanakan matang-matang. Aku akan menyatakan cintaku ditengah lapangan nanti, tepat setelah pengumuman kelulusan. Kalau biasanya lelaki lain menggunakan bunga saat menyatakan cintanya, aku akan gunakan sesuatu yang lain dan pastinya antimainstream.  Jadi begini, aku merangkai pita-pita dan menyatukannya dalam bentuk hati. Aku juga membeli beberapa balon merah muda berbentuk hati. Dan teman-teman se genk-ku sudah bersiap membawa serpihan-serpihan bunga untuk ditaburkan saat aku menembaknya nanti. Ya, semua persiapan sudah siap dan aku sangatlah percaya diri.
Tibalah saat pengumuman kelulusan. Jantungku berdebar terlalu kencang sampai-sampai keringat dingin memenuhi tubuhku. Aneh bin ajaib, aku ditakdirkan menjadi peraih nilai ujian tertinggi se-sekolah ini!Oh tidak, bahkan se-kota ini!langsung saja aku sujud syukur sambil meneteskan air mata bahagia. Aku tidak menyangka akan mendapatkan kejutan seindah ini!
Aku, seorang Ildza Dewanata yang semasa kelas X dulu bahkan tidak meraih 20 besar dikelas bisa menjadi ranking pertama dalam ujian nasional ini. Sungguh syukur alhamdulilah yang teramat sangat besar aku ucapkan pada Allah SWT, orangtuaku, dan juga Vanya.
Aku membayangkan hari ini akan berakhir dengan sangat indah sekali. Saat namaku dipanggil maju oleh kepala sekolah untuk menerima penghargaan, aku segera memberi kode pada teman-temanku untuk mempersiapkan semuanya sebentar lagi. Setelah selesai, dan guru-guru telah bubar, aku menghampiri Vanya dan menariknya ke tengah lapangan.
“Vanya, terima kasih atas tahun-tahun berharga yang kamu berikan kepada aku. Semua ini aku dapat juga karena jasamu. Dan pada detik ini, maukah kamu jadi pendampingku Vanya?”ujarku tulus dari dalam hati sambil menyiapkan segala property. Bahkan teman-temanku sudah menebarkan bunga layaknya pernikahan.
“Nggak. Aku nggak mau Dza. Kamu jahat!”teriaknya sambil mendorongku lalu berlari pergi.
Hening..
Sakit. Seketika aku merasa tubuhku digerogoti es yang amat sangat dingin. Organ-organ tubuhku bahkan enggan untuk berfungsi lagi. Aku hanya mematung dalam posisi terjatuh di tengah lapangan itu. Tatapanku kosong dan hampa. Serasa aku baru saja dihujam oleh pisau es yang membekukan seluruh hidupku ini.
Teman-temanku berusaha menyadarkanku dari lamunan, namun mereka tak bisa. Beberapa yang lain sibuk berbisik-bisik kasihan tentang kejadian tadi. Aku disini hanya bisa mendengar tanpa bisa merespon apapun. Hujaman kata-kata yang lebih tajam dari belati tadi sudah terlanjur meremukkan jiwaku. Sakit..rasanya sakit sekali. Air mata ini bahkan tidak bisa keluar sedikitpun, dan itu membuatku amat sangat menderita.
Tess…Tess…
Tak lama kemudian, hujan turun membasahi bumi ini. Aku masih terpaku di lapangan ditemani tetes-tetes hujan yang terasa sangat menyakitkan ketika menimpa kulitku. Kekosongan yang terbawa hujan itu semakin jelas. Kehampaan itu semakin mendekat. Aku terjerat masuk kedalam lubang kepedihan itu. Didalamnya aku terombang-ambing oleh perasaan yang entah menusukki jiwa. Diriku terluka terlalu dalam. Entah bagaimana nanti cara menyembuhkannya.
Mungkin kita ini memang saling melukai Vanya..
***
Vanya
Aku berlari menembus kerumunan orang yang memandangiku saat di tengah lapangan tadi. Aku terlalu kecewa dengan hasil pengumuman ujian tadi, sehingga dengan tidak sadar aku telah melukai dia. Iya, Ildza. Padahal aku yang dari awal membangunnya untuk menjadi pribadi yang kuat. Aku yang menjadikannya lelaki yang hebat, tapi aku malah menghancurkannya dalam sekejap. Perempuan macam apa aku ini?
Dia…
Padahal aku tau, tak mudah baginya untuk melakukan semua itu tadi. Padahal aku tau, harusnya aku senang mendengarnya sukses sekarang. Tapi kenapa?Kenapa aku mengucapkan kata-kata keji tadi?Kenapa aku malah menghancurkan malaikat itu? Kenapa aku malah melarikan diri seperti pengecut seperti ini.
Andai engkau tahu Dza, aku tidak berniat berkata keji seperti itu. Ini semua salahku yang tidak bisa mengontrol emosiku. Aku yang membangunmu, namun malah aku juga yang menghancurkanmu
Sakit. Hati ini tiba-tiba terasa terlalu sakit. Aku menggoreskan luka padamu dan juga pada hatiku.

Ternyata perasaan cinta kita ini saling melukai satu sama lain..

Komentar

Postingan Populer